Benarkah di desa tidak ada gay/lesbian?

 Suatu hari sekitar tiga atau empat tahun lalu, saat survey lokasi (bakal tempat syuting) bersama 3 orang teman ke Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango di Bogor, sambil berjalan menyusuri jalan hutan, si teman bule – pria – bertanya, “Benar ada gay sejak lahir?  Kalau memang ada, mengapa di kampung atau dusun kita tidak pernah aku dapati gay/lesbian?  Kenapa adanya di kota besar saja?”

Saat itu aku tidak bisa berkomentar, padahal novel pertamaku yang bertema gay baru saja dirilis.  Kuakui dulu aku menulis novel itu tanpa mempelajari tentang homosexual.  Namun setahun belakangan ini aku terpicu untuk mempelajarinya.  Dan kini aku mengetahui jawabannya.

Alfred Kinsey yang telah melakukan riset di tahun 1948, menemukan ada sekitar 6% dari populasi adalah gay murni – born to be gay karena factor genetika.  Dengan kata lain, bila ada sebuah desa terpencil dengan populasi sebanyak 100 orang, maka ada 6 orang yang terlahir gay di populasi itu.  Bila ditambahkan dengan populasi yang bisexual, tentu jumlahnya akan lebih banyak lagi.

Tapi mengapa gay di desa atau kampung tidak terlihat?  Sebenarnya ada.  Kita saja yang kurang jeli mengamati.  Gay di desa ada yang kentara tapi lebih banyak yang menutupi diri.  Pria kemayu atau wanita tomboy memang belum tentu gay, tapi kemungkinan mereka gay cukup besar.  Bila kita memperhatikan hal ini saja, maka kita bisa merasakan bahwa memang mereka ada walau di desa terpencil.  Tetapi aplikasinya dalam cara hidup, mereka lebih banyak menutup diri dan menekan kebutuhan sexnya, kemudian menyesuaikan kehidupannya seperti orang pada umumnya.  Hal itu mereka lakukan karena banyak faktor, takut dikucilkan masyarakat yg sebagian besar adalah keluarga, takut dosa karena tidak sesuai dengan ajaran agama, dan malu karena berbeda dengan kebanyakan orang.

Naluri manusia adalah berkreasi dan berinovasi untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan seks.  Gay di desa yang tidak mampu menekan kebutuhan batinnya akan mencari cara supaya dapat keluar dari desanya, dan biasanya mereka menuju kota besar.  Gay desa yang berimigrasi ke kota besar itu sangat banyak.  Di kota, apa pun mereka lakukan demi hidup.  Mempunyai teman yang senasib tentu juga sangat penting buat mereka.  Banyak yang mengikuti kursus keterampilan sehingga bisa bekerja di salon kecantikan misalnya.  Tapi banyak pula diantara mereka yang kurang beruntung sehingga harus mencari nafkah di jalanan sebagai pengamen atau pun yang lainnya.

Ada stereotip yang berkata bahwa jika Anda gay, pindahlah ke kota besar di mana Anda dapat menjalani kehidupan yang terbuka dan bebas dan lingkungan dapat menerima cara hidup gay.  Tapi hal itu tidak selamanya benar.  Memang menurut statistik, jumlah gay di kota besar jauh lebih tinggi dari pada di kota kecil ataupun desa.  Pada tahun 2001, The Miami Herald melaporkan bahwa di beberapa daerah disekitar Miami, seperti Manors Wilton, populasi gay ada sebanyak 17% dari populasi.  Cukup besar bukan?

Tapi perlakuan tidak menyenangkan kepada kaum gay masih sering terjadi walau di kota besar sekalipun.  Berikut kita simak apa yang dialami oleh seorang lesbian, Nikki Dowling, yang tinggal di New York City, “Memang benar, menjadi gay di New York tentu lebih baik daripada menjadi gay (atau bi) di kota kecil.  Seperti tempatku berasal, hanya ada satu orang gay di seluruh sekolah menengah atas yang berani membuka diri (coming out), dan ketika ia came out kepada orangtuanya mereka menolak untuk berbicara dengannya dan dia segera dikirim untuk terapi.

Tapi walaupun sekarang aku tinggal di NYC, ketika berjalan di jalan sambil memegang tangan pacar atau menciumnya ketika hendak masuk ke kereta bawah tanah, banyak sekali orang yang memperhatikan kami dengan tatapan yang sering kali membuatku merasa sakit hati, malu, canggung atau marah. Yang paling sering adalah tatapan jijik pada kami. Pria yang melihat aku dan pacarku biasanya seperti merasa perlu mengatakan hal-hal tidak pantas pada kami.

Tidak hanya dari pria, beberapa kali aku mendapatkan tatapan tidak menyenangkan dari perempuan tua. Mereka melihatku dan pacarku dengan kerutan hidung dan bibir atas hingga keriting seperti anjing yang marah sambil menatap langsung ke wajahku, seolah seksualitasku adalah penghinaan bagi martabat dan kekayaannya.  Aku biasanya mencoba untuk menertawakan kejadian itu, tapi sesungguhnya aku terguncang dipandangi seperti itu, rasanya seperti merangkak keluar dari selokan.”

Artikel lengkapnya dapat di baca di sini

Btw, di NYC tercatat jumlah gay sebesar 4,5% dari populasi, yakni sekitar 272.500 jiwa, menempati ranking 1 di USA.  Kota dengan prosentasi gay tertinggi adalah San Fransisco, yaitu 15.4%.  Tapi karena jumlah penduduk lebih sedikit dari NYC maka populasi merka hanya sekitar 95.000, ranking 4 diseluruh USA.

Karena perlakuan yang tidak ramah terhadap kaum gay, maka biasanya mereka hidup mengelompok.  Seperti kelompok etnis minoritas, komunitas gay dan lesbian sudah mulai menggunakan konsentrasi mereka di kota-kota untuk membangun kekuatan politik.  Gay yang terpelajar mulai masuk ke bidang politik untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga Negara yang setara dan bisa menikah secara legal.

Komunitas gay biasanya hidup berkelompok untuk menghindari kekerasa fisik, visual atau verbal yang biasa dilakukan homophobic. Mereka biasanya memilih mengelompok di pinggiran kota besar dimana lingkungannya bukan kelompok tradisional dan juga bukan warga kota besar yang keras.  Tempat mereka berkumpul itu sering disebut Gay Village (Kampung gay).

Gay village / Kampung Gay

Gay Village (lingkungan gay) adalah wilayah geografis dengan batas-batas yang diakui secara umum, di mana sejumlah besar lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) berdomisili atau sering berkunjung ke sana.  Gay Village biasanya dihuni oleh sejumlah gay yang berjiwa bisnis, sehingga bermunculan tempat usaha seperti gay bar, klub malam, tempat permandian atau spa, restoran, butik, salon kecantikan, toko buku, dan lain-lain.

Gay village merupakan oase yang ramah terhadap gay dari sebuah kota yang memusuhi mereka.  Lingkungan ini biasanya berkembang pesat dan hidup karena yang datang ke lingkungan tersebut adalah gay dari berbagai daerah atau malah negara dengan membawa budaya masing-masing, dan mereka dengan bebas mengekspresikan diri.  Kaum gay biasanya adalah kelompok manusia yang kreatif dalam hal seni dan menyukai hidup yang dinamis sehingga lingkungan mereka selalu menjadi tempat menarik dan menyenangkan untuk dikunjungi oleh kaum heterosexual yang berpikiran terbuka.  Ada tokoh yang berkata bahwa kota matipun dapat diubah menjadi hidup lagi oleh kelompok gay.

Tapi saat ini, Gay Village juga dapat ditemukan di daerah elit seperti di Manhattan, NYC.  Lokasi ini mereka pilih karena nilai estetika dan sejarah.  Ini tentu pengecualian karena pemilihan lokasi bukan lagi karena pengucilan sosial politik dan ancaman konstan kekerasan fisik dari kaum homophobic yang awalnya memotivasi komunitas homoseksual untuk hidup bersama dan merasa aman.

Dalam beberapa kasus, pembentukan atau kehadiran komunitas gay dapat mengubah suatu daerah menjadi lingkungan yang lebih mahal nilai jualnya.  Proses ini dikenal dengan sebutan gentrifikasi – sebuah fenomena di mana kaum gay sering memainkan peran pelopor. Namun, proses ini tidak selalu menguntungkan kaum gay, karena setelah daerah itu menjadi ramai dan hidup, nilai properti menjadi naik begitu tinggi sehingga mereka tidak mampu lagi untuk tinggal di sana.

Dalam tahun-tahun awal 2000, beberapa anggota masyarakat dari Toronto Gay Village menciptakan kampung gay online yang disebut Gay-Villager.com.  Jaringan ini menghubungkan seluruh kampung gay di dunia, yang bertujuan memberikan informasi untuk seni, perjalanan, bisnis, konseling gay, jasa hukum dll, dan juga menyediakan informasi lingkungan yang aman dan ramah untuk gay.

Sepertinya  Indonesia belum memiliki kampung Gay, atau mungkin ada di Bali, entahlah, aku belum pernah mendapat informasi tersebut.  Tapi ada seorang teman yang pindah ke Vancouver, Canada, dan menetap di gay village, karena di Indonesia belum ada katanya.  Negeri ini mungkin butuh 10 atau 20 tahun lagi supaya bisa toleran terhadap gay.  Tapi kota-kota besar dunia yang toleran terhadap gay saat ini sudah sangat banyak gay village nya.

Sesungguhnya bila saja di sekitar Jakarta ada gay village, maka perputaran bisnis di sana akan sangat baik karena akan terkoneksi dengan gay village di seluruh dunia, dan menjadi salah satu kawasan tujuan turis terutama gay.  Tapi apa boleh dikata, saat ini komunitas gay masih dianggap tidak ada atau tidak diangap karena tidak religi.

Oh iya, bila ingin mengetahui di mana saja ada gay village, silakan cek di mbah google, banyak kok. 🙂

Jakarta, 19 August 2012

Mery DT

About Mery DT

Since January 2018 I can't manage this blog because Ministry of Communication and Informatics of Republic Indonesia has banned this blog. I am using Three Network as internet connection provider, and it doesn't allow me to visit my sites. I knew, it must be related with my content of blog, especially advocation for sexual orientation. F*ck Indonesian free speech or free writing or free of thoughts. I only can open this blog until my stat page. I see several visitor from Indonesia in my stat. So I have to find out what provider that they use so I can continue to manage this site.
This entry was posted in Sexual Orientation and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink.

4 Responses to Benarkah di desa tidak ada gay/lesbian?

  1. Pingback: Benarkah di desa tidak ada gay/lesbian? | OurVoice

  2. muztahil jika di kampung ng ada gay, justru di desa lah populasi gayx lbh banyak dr pada d perk0taan,,

    Like

  3. Fian says:

    Dengan makin canggihnya teknologi, batas kampung dan kota jadi tipis untuk tahu keberadaan gay. Cukup dengan aplikasi mobile, kita bisa tau ada berapa gay dekat kita. Dan di kampung pun itu sudah banyak.
    Hanya saja benar, masalah di kita tidak ada toleransi dan upaya2 untuk menegakan toleransi pun dari yang berwenang tidak ada.

    Like

  4. Pingback: Homoseksual TIDAK Menular | Apaja

Leave a comment