Namaku Haris, Tinggal di Jerman dan Aku Gay. 

 

hochzeit-1

Perjalanan hidup yang panjang dan berliku membawaku menetap dan menikahi partnerku yang berkewarganegaraan Jerman. Aku sungguh bahagia karena pada akhirnya bisa menikah dengan orang yang kucintai. Pernikahan yang diangankan semua gay, yaitu pernikahan berdasarkan orientasi seksual, bukan jenis kelamin.

Saat ini aku dan partnerku tinggal di sebuah desa yang indah nun jauh di pelosok utara Jerman. Tetangga kami semuanya baik dan ramah. Mereka tidak pernah mempersoalkan hubungan kami. Kami bahkan mengundang mereka semua untuk hadir dalam pesta pernikahan kami. Bisa dikatakan, pesta pernikahan kami termasuk pesta besar, pesta yang sempurna. Keluarga, tetangga dan teman-teman turut hadir bergembira bersama kami. Aku akan mengingatnya sepanjang hidupku.

Bagaimana aku bisa sampai di Jerman? Bagaimana seorang remaja gay yang pemurung dan patah semangat, selalu menjadi bahan olokan teman-temannya di sebuah desa kecil, bisa melanglang buana menantang dunia dan akhirnya menemukan cinta di belahan dunia lain? Ah sepertinya aku agak berlebihan menggambarkannya.

Ada baiknya aku menceritakan secara singkat perjalanan hidupku agar teman-teman gay bisa mengambil hikmahnya dan dapat menjadinya penyemangat hidup, sehingga tidak merasa frustasi dan rendah diri. Ingatlah bahwa dunia tidak seluas daun kelor. Dunia ini sangat luas dan tak bertepi, kamu pasti bisa meraih kehidupan yang lebih baik dan lebih indah di suatu tempat yang tidak pernah kamu sangka-sangka.

Kalau aku, seorang remaja kampung yang selalu dibully karena orientasi seksualku, bisa merubah kekalahan menjadi sebuah kemenangan yang gemilang, maka kamu pun BISA. Kutuliskan kisahku ini sebagai penyemangat bagi teman-teman atau adik-adikku yang merasa tidak beruntung karena gay. Kalian bukan orang tidak beruntung. Kalian hanya belum menemukan keberuntungan itu. Maka carilah!
COMING OUT ADALAH AWAL SEGALANYA

Coming out sebagai gay adalah awal, bukan akhir dari segalanya. Sesungguhnya coming out tidaklah berat, karena hal terberat yang aku rasakan dalam hidupku adalah pada masa pencarian jati diri dan proses menerima diriku apa adanya. Teman-teman heteroseksual akan susah memahami proses ini karena mereka tidak pernah mengalaminya.

Masih segar dalam ingatanku betapa sedihnya aku ketika itu saat mengetahui bahwa aku adalah seorang gay. Ada penolakan yang besar dari dalam diriku atas orientasi seksualku. Aku membencinya. Seiring waktu, lewat proses yang menyakitkan akhirnya aku bisa berdamai dengan diriku sendiri. Aku bisa menerima bahwa aku adalah seorang gay.

Percayalah, tahap itu bukanlah rentang kehidupan yang mudah. Saat remaja, aku pernah sangat taat menjalankan agama dengan harapan bisa berubah jadi heteroseksual. Gagal. Pernah juga ingin mengakhiri hidup karena aku merasa terlalu banyak dosa. Bahkan ketika itu, kakak perempuanku pernah mengatakan dengan kalimat sederhana, karena dia tidak bisa mencari kata-kata yang tepat, “Aku patah hati…” kemudian dia mulai menangis karena teringat akan dalih-dalih agama.

Teman-teman gay yang sudah dewasa pasti pernah mengalami perasaan seperti itu; ingin berubah atau “sembuh” dan mencoba bunuh diri. Semoga teman-teman heteroseksual bisa memahami kami bahwa sangat tidak mudah hidup sebagai gay.

Apakah aku bahagia setelah coming out? Tidak! Karena aku harus pergi dari rumah untuk menjaga nama baik keluarga.  Hidup sendiri dan menderita di luar sana. Tapi ketahuilah, penderitaan itu juga ada ujungnya bila kita berusaha mengatasinya. Seperti hidupku saat ini.

Apakah keluargaku tetap menyayangiku setelah aku coming out? Untuk pertanyaan ini aku berani bertaruh, IYA! Aku bisa merasakan sambutan mereka yang hangat, bersuka cita dengan tangan terbuka menerima kedatangan kami (partnerku dan aku) saat kami berkunjung ke Indonesia. Kala itu kami sempatkan untuk pergi berliburan bersama keluarga besarku. Setelah itu, mereka sering bertanya, kapan kami datang lagi. Mereka sangat menyayangi kami, sampai-sampai aku tidak percaya, yang dulu rasanya tidak mungkin, akhirnya bisa terjadi.
CINTA BERSEMI DI GILI AIR

Aku suka traveling dan aku tidak pernah betah berdiam diri di rumah. Pada suatu saat aku janjian bertemu dengan seorang pria Jerman di Gili Air. Pertemuan itu adalah liburan dua minggu yang sangat menyenangkan. Setelah dia kembali ke negaranya, kami menyadari bahwa kami saling jatuh cinta. Sejak itu kami bersepakat menjalin hubungan LDR (Long Distance Relationship).

Secara berkala kami bertemu di suatu tempat, seperti Paris, Hurghada dan Antalya. Jujur kukatakan, hubungan kami sangat menyenangkan. Akhirnya kuputuskan pindah ke Jerman mengikutinya. Tetapi sayang sekali hubungan kami hanya bertahan lima tahun. kemudian dia melanjutkan perjalanannya dan menetap di Phillippina. Dan aku memilih tetap tinggal di Jerman.

Pikirku ketika itu, untuk apa aku kembali ke Indonesia bila tak ada seorangpun yang menginginkanku? Gay masih dianggap sebagai kaum yang tidak baik, dan belum mempunyai perlindungan hukum. Sementara aku bukanlah tipe pejuang yang bisa memperjuangkan persamaan hak gay, misalnya. Jadi kuputuskan lebih baik menetap di Jerman, meskipun sendiri.

Oh iya, setelah tinggal di Jerman, aku berusaha mengejar ketinggalan pendidikanku yang cuman lulusan SMA. Aku mempelajari teknologi informasi sembari bekerja paruh waktu sebagai Roomboy di sebuah hotel. Pernah juga bekerja di dapur sebuah restoran. Tapi saat ini aku bekerja dari rumah di mana jobdesk-ku adalah mengelola toko online. Keuntungan dari pekerjaan itu aku investasikan melalui trading saham. Pekerjaan ini sangat menyenangkan karena bisa dilakukan sembari mengurus rumah.
KEBAHAGIAAN BISA DICARI, BUKAN DITUNGGU

Orang bilang, kebahagiaan itu harus dicari, bukan ditunggu. Aku gay yang sedang patah hati. Adakah hal yang lebih mengerikan dari itu? Putusnya hubungan kami membuatku benar-benar terpuruk.

Saban pagi, aku tidak punya alasan yang menyenangkan untuk bangun dari tidur. Rasanya berat untuk memulai hari. Tak ada semangat dalam menjalani hidup. Malam hari aku tidak bisa tidur karena menderita kesepian. Terkadang aku terbangun tengah malam dengan perasaan yang sedih sekali karena ngeri membayangkan masa depanku. Bagaimana mungkin aku bisa menjalani hidup sendirian di negeri orang? Bagaimana nanti saat aku beranjak tua dan kesepian? Aku tidak punya keluarga di sini.

Perlahan aku sadar kondisi ini tidak baik untuk jiwaku karena berbulan-bulan berada dalam titik terendah. Akhirnya muncul kesadaran dalam diriku untuk berjuang kembali mencari kebahagiaan. Karena kebahagiaan tidak akan datang bila hanya menunggu.

Aku mulai membuka diri dan melakukan pendekatan dengan tiga orang sekaligus. Setelah beberapa kali pertemuan dan mempertimbangkan semuanya, maka aku putuskan hanya berpacaran dengan salah satu dari mereka yaitu Thomas. Kepada dua orang lainnya aku katakan tidak ingin melanjutkan hubungan. Mereka adalah orang-orang dewasa yang bisa menerima keputusan pihak lain.

Setelah berpacaran selama dua bulan, Thomas memperkenalkanku dengan keluarganya. Mereka adalah orang-orang yang menyenangkan dan ramah. Setelah dua tahun berpacaran, Thomas melamarku.

THE WEDDING

hochzeit2

 

Laksana kisah dari negeri dongeng, di mana dua insan yang memadu kasih akhirnya berakhir di pelaminan. Diadakan pesta pernikahan yang sangat meriah dan mewah selama tujuh hari tujuh malam. Berlimpah hidangan lezat yang tak pernah habis dimakan dan minuman yang tak pernah kering dari gelas para tetamu. Sepanjang malam diadakan pesta dansa di ballroom yang megah yang dipenuhi oleh undangan yang berpakaian indah dan berkelas.

Oh iya, pernikanan kami juga terlaksana seperti cerita negeri dongeng di atas. Pesta yang besar dan meriah. Semua undangan datang dengan penampilan berkelas. Ada pesta dansa sepanjang malam, walaupun hanya semalam.

Pesta pernikahan kami sangat sempurna, sehingga masih menjadi bahan pembicaraan di desa kami selama berbulan-bulan. Sepasang tetangga berkata sangat menyesal tidak bisa datang karena saat itu mereka sedang pergi berlibur. Mereka mendengar semua cerita dari para tetangga, lalu meminta kami untuk menunjukkan foto-fotonya. Sayang sekali keluargaku satupun tak datang karena mereka semua belum pernah ke luar negri dan takut naik pesawat.
BUKAN AKHIR CERITA

Sejak menikah, aku boyongan ke rumahnya Thomas. Tempat tinggal kami kini adalah sebuah desa yang asri nan indah, terletak di pantai North Sea, Jerman Utara. Di sini kami hidup layaknya pasangan pada umumnya. Satu-satunya yang membedakan adalah bahwa kami pasangan gay. Itu saja.

Kami mempunyai hubungan baik dengan para tetangga, meskipun jarak terdekat dengan tetangga adalah satu kilometer. Warga di sini mengadakan acara sosial secara berkala. Kami selalu berusaha terlibat dalam acara tersebut, sehingga berkesempatan mengenal semua orang dan menjalin persahabatan yang menyenangkan dengan mereka.

Di Jerman, pernikahan berbeda jenis atau pernikaan sejenis diperlakukan setara. Menikah berarti mendapat kemudahan dan keringanan. Setelah pernikahan, kami pergi ke balai kota untuk mengurus potongan pajak penghasilan berdua, menggabungkan asuransi sosial agar menjadi lebih murah, membikin rekening bank bersama, dan banyak sekali keuntungan yang bisa didapatkan.

Itu sebagian keuntungan pernikahan bila dilihat dari segi ekonomi. Tapi itu bukanlah tujuan kami menikah, itu hanya bonus dari pernikahan kami. Kami menikah karena saling mencintai dan menyayangi. Dengan status menikah kita merasa memiliki keluarga yang semakin intim, yang saling menjaga satu sama lain dalam kasih sayang.

Apakah kalian bertanya jika kami ingin punya momongan layaknya pasangan yang menikah? Oh tentu saja kami bisa adopsi anak sewaktu-waktu. Setelah berdiskusi tentang hal ini, kami memutuskan tidak, karena terlalu berat buat kami.

Berarti menjalani hari tua tanpa anak? Begini, manusia itu beragam dan hidup selalu memberikan banyak pilihan. Ada orang yang ingin menikah, ada pula yang tidak. Ada orang yang ingin tinggal di desa, ada pula yang ingin pergi ke kota. Ada yang ingin punya anak, ada pula yang tidak. Semua pilihan benar, tak ada satupun yang salah.

Menurut aku, ada yang salah dengan kondisi sosial kita di Indonesia, dimana semua orang pada akhirnya harus menikah. Setelah menikah, harus punya anak dan harus mengurus mereka dengan baik. Bila kamu tidak melalui proses tersebut, maka kamu akan dianggap aneh atau punya kelainan atau tersisih dari kehidupan sosial. Di Jerman orang bebas menjalani hidupnya dengan cara apapun yang dia pilih tanpa ada gunjingan orang lain.

Menjadi tua dan tidak punya anak bukan hal yang aneh di sini. Jerman adalah negara kaya dengan sistem sosial terbaik di dunia. Dari segi finansial, di sini semua orang terjamin hari tuanya. Jika kamu bertanya tentang finansial kami nanti di hari tua, tidak perlu kuatir, karena kami sudah mempersiapkannya. Di Jerman, orang tidak boleh hidup miskin.

1234

It is not happy ending tapi berproses dan kami hidup berbahagia. Kami menikmati setiap detik dalam hidup ini dengan kebahagiaan yang tiada habisnya, dan aku bersyukur tiada henti atas karunia hidup yang sangat indah ini.

Ada pesan kecil dariku buat kalian semua, bahwa dunia ini luas sekali. Pergilah ke luar, di sana ada kebahagiaan yang sedang menunggumu. Jangan pernah takut dan jangan menyerah pada keadaan sekitar. Mungkin ada saat di mana kita harus menyingkir dan pergi jika kondisi sudah tidak baik, tetapi bukan menyerah.

Apakah kalian masih penasaran dengan kehidupan kami yang sangat wajar di Jerman dan ingin mengetahui cerita kehidupan kami selanjutnya? Silahkan kunjungi blog-ku dan temukan ceritaku tentang kegiatan kami menikmati waktu bersama sambil keliling dunia. Aku menulis secara teratur cerita perjalanan kami di http://ketimpringan.com Atau bisa juga follow akun twitter-ku @ketimpringanDC dan akun instagram @ketimpringan

TIPS: Apakah ada yang punya rencana menikah dengan warga negara EU (baik gay maupun non-gay)? Di sini aku menulis cara cepat, murah dan legal menikah di Eropa: http://www.ketimpringan.com/2015/08/the-city-of-love-is-not-paris-but-tonder.html
Jerman, 17 November 2016

Haris Schildhauer

About Mery DT

Since January 2018 I can't manage this blog because Ministry of Communication and Informatics of Republic Indonesia has banned this blog. I am using Three Network as internet connection provider, and it doesn't allow me to visit my sites. I knew, it must be related with my content of blog, especially advocation for sexual orientation. F*ck Indonesian free speech or free writing or free of thoughts. I only can open this blog until my stat page. I see several visitor from Indonesia in my stat. So I have to find out what provider that they use so I can continue to manage this site.
This entry was posted in LGBT, Sexual Orientation and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink.

14 Responses to Namaku Haris, Tinggal di Jerman dan Aku Gay. 

  1. Bybyq says:

    Ah… Haris. Sayangnya aku waktu itu terpaksa batal datang ke weddingnya 😦 Padahal udah tinggal capcus ke sana…

    Like

    • Mery DT says:

      Wah, kalian saling kenal rupanya.
      Bbrp hari lalu aku diemail Haris, menawarkan ceritanya untuk di posting di blog ini. Aku sih senang banget. 🙂

      Liked by 1 person

      • Bybyq says:

        Iya kenal sejak Haris masih pake nama alias Bedjo. Belom sempat ketemu langsung sayangnya. Nyesel juga kemarin ga jadi ke weddingnya 😦 padahal gara2 weddingnya Haris kan aku belajar bahasa Jerman…

        Like

        • Mery DT says:

          Hahaha.. hikmatnya adalah sekarang bisa berbahasa Jerman.
          Well, Haris sudah baca tulisan ini setelah aku posting. Semoga kapan-kapan dia kasi komentar. 🙂

          Like

          • Hai… eh ketemu Bybyq di sini… Iya Mery, kami sudah saling kenal dari blogging, dan bybyq adalah orang yang paling pertama aku kirimi undangan kawinanku dulu, soalnya dia paling jauh, sayang sekali ndak bisa datang…. Tapi pintu rumah kami selalu terbuka untuk kalian, datanglah liburan kapan-kapan.

            Terimakasih Mery sudah publish ceritaku, garing dan tidak ada pesan moralnya tapi semoga bermanfaat bagi teman-teman semua ya….

            Like

          • Mery DT says:

            Hi Haris,

            Artikel kamu dengan judul yang berani ini mendapat hits tertinggi tiap hari. Seperti aku bilang, visitor blog ini sangat segmented, mereka ke sini memang mencari informasi tentang LGBT. Jadi.. ya its good tho.. 🙂

            Btw, artikel ini dengan judul yg sama tapi dirampingkan karena di Qureta ada pembatasan jumlah kata (sekitar 1000 kata 1 artikel) aku published juga artikel ini.
            http://www.qureta.com/post/namaku-haris-tinggal-di-jerman-dan-aku-gay

            Pembacanya juga lumayanlah. 🙂

            Like

          • Haris says:

            Bagus lah kalau tulisanku juga muncul di Qureta, biar semakin banyak yang baca…. eh tapi link ke blog-ku yang di Qureta URL kok salah ya? tidak bisa di klik, bisa dikoreksi kah?
            terimakasih….

            Like

          • Mery DT says:

            Sudah ku revisi, Haris. Thanks sudah mengingatkan 🙂

            Like

  2. Jwan says:

    marriage equality emang exist buat gay couple di german ya? baca di wikipedia enggak https://en.wikipedia.org/wiki/LGBT_rights_in_Germany ,cuma civil partnership yg legal

    Like

    • Ah pada kenyataannya sama saja kok, kami mendapatkan sama persis seperti yang lain, baik dalam perlindungan hukum maupun perlakuan sosial, ya mungkin ada sedikit perbedaan tapi itu benar-benar tidak berarti.
      Bahkan tahukah kamu bahwa pasangan sejenis juga bisa menikah di gereja jika mau? Jerman adalah negara yang paaaaling ramah terhadap GLBT, termasuk agama di sini.

      Like

      • Jwan says:

        Ok.
        Yep, Saya tinggal di new zealand, salah satu negara yg dikenal paling ramaah terhadapa glbt people. Di new zealand juga ada gereja2 yang affirm pasangan gay untuk get married di gereja. Marriage equality sudah legal di nz sejak taun 2013, biarpun saya belom married, but I know how it feels to have this legal recognition in the society so we as gay people are not seen less than straight couple, love is love, gay or straight. Good to know if germany is an gay friendly country, I & my partner are going to germany next year.

        Liked by 1 person

  3. ari says:

    Waaah dengan membaca bagroundnya aja aku udah bisa bayangkan betapa bahagianya di sana..
    Aku juga seorang gay yang akan bercita” akan menikah dengan sesama..

    Tetapi aku masi belum brani lepas terbang jauh..
    Karna faktor bahasa dan ekonomiku tidak bagus..

    Dan sepertinya aku sangat ingin ke jerman..
    Menikmati dunia di hari tua..

    Namaku ari.umur 21.. Dari kota pekanbaru.

    Like

  4. Waah…sedikit membuka mata dan informasi tentang dunia ini.
    Saat ini saya juga lagi menjalani LDR dengan pria german
    berharap suatu saat bisa melangsungkan pernikahan disana 🙂
    terimakasih sudah membagikan pengalamanya, semoga bahagia dan sukses selalu 🙂

    Like

  5. Pingback: Berlin Pride 2017 dari Lensa Seorang Teman | Apaja

Leave a reply to bocahkekinianDino Cancel reply